Sebagai
gerbong ekonomi kerakyatan, pasar tradisional butuh "refresh" agar
bisa memikat masyarakat untuk hadir. Membidik tidak hanya kalangan
kelas bawah, apalagi hanya kaum ibu untuk belanja kebutuhan dapur,
adalah ide utama dalam mengembangkan pasar tradisional.
Di Jepara, setidaknya kita telah punya contoh yang menarik untuk ditiru. Pasar Sore Karangrandu (PSK) kini telah menjadi pasar rakyat nan memikat. Trik-trik apa yang dipakai oleh para pengelola PSK sehingga dalam tempo yang relatif sangat singkat (tiga tahun, sejak 2009) mampu menjadikan PSK ramai pengunjung? Inilah yang perlu kita pelajari.
Mati enggan hidup tak mau
Sebagaimana pasar-pasar desa umumnya, PSK memiliki sejarah panjang. Puluhan tahun silam. PSK yang
dulunya bernama pasar Wiroto Pahing itu tentu tidak semeriah sekarang. Bisa dikatakan “mati enggan hidup tak mau” Dan sejak dulu aktifitasnya hanya di sore hari sekitar jam tiga sampai Maghrib.
Kondisi seperti itu berlangsung bertahun-tahun. Hingga 2009. “Sejak 2009 kami melakukan pembaruan konsep. Kami rubah namanya menjadi Pasar Sore Karangrandu (PSK), sebab nama yang dulu kami anggap kurang ‘menjual’,” papar Mukafi Petinggi Karangrandu.
“Nama PSK ini,” lanjut Mukafi, “awalnya juga kontrofersial. Tapi kami yang penting niatnya baik. Justru
keuntungannya mudah dikenang orang. Selain itu kami juga melekatkan unsur kuliner ke PSK.”
Lebih lanjut Petinggi yang mulai aktif menjabat sejak November 2007 itu memaparkan, bahwa dengan melekatkan unsur kuliner ke PSK harapannya bisa menarik lebih banyak pengunjung tidak hanya kaum ibu yang sekedar belanja kebutuhan sehari-hari.
Pada Sabtu 25 Februari lalu Sekar Kampung jalan-jalan ke PSK. Memang ada kesan luar biasa. Setidaknya jika dibanding pasar-pasar desa lainnya. Wisata pasar, ini poin plus PSK yang tidak terdapat di pasar lain di Jepara. Aktifitas "ecotainment" (ekonomi-hiburan) menyatu di sini.
Faktanya, yang berdatangan ke PSK tidak hanya warga yang ekonominya pas-pasan, tapi juga kalangan berduit. Saya sempat terheran melihat satu kedai kuliner yang dijejali pengunjung berjubel. Tua, muda, ibu-ibu, ramai sekali. “Niki termasuk biasa, mas. Rame malih nek dinten Jum’at kalih Minggu,” komentar seorang ibu pedagang es campur, goreng-gorengan, pecel, dan menu-menu kuliner lainnya.
Saya juga tak mengira lokasi parkir yang luas, yang awalnya ketika pertama saya masuk lokasi pasar sekitar
pukul 14.00 masih nampak sepi, ternyata semakin sore semakin penuh. Tidak hanya sepeda motor, tapi juga mobil-mobil berkelas. Ada juga sebuah grup pehobi sepeda tak canggung mampir ke PSK. Makin sore makin ramai. Sekitar jam 16.15, saya terkaget lagi ada satu kereta wisata yang penuh sesak dengan penumpang yang kebanyakan ibu-ibu, remaja putri, dan anak-anak, berbelok masuk ke halaman
PSK. Dan agaknya mereka semua memang sengaja menuju ke PSK, entah untuk jalan-jalan, belanja, atau menikmati santapan kuliner.
Strategi dan trik
Sejak 2009 pelan-pelan PSK menjadi pasar rakyat yang meriah, ramai pengunjung. “Untuk mengawali konsep PSK dengan penekanan unsur kuliner , kami mengadakan Pameran Kuliner Jepara, yang pada akhirnya ini menjadi kami tetapkan sebagai even tahunan,” kisah Mukafi.
Untuk meramaikan PSK, berbagai acara yang berpotensi menarik massa digelar: mengundang para
sponsor untuk mengadakan pameran produk, festifal musik dan festifal-festifal lainnya, membagi voucher makan gratis dengan sopir-sopir kereta yang bisa mengajak penumpangnya ke PSK, dll. Dengan demikian PSK tidak hanya sebagai tujuan belanja saja, tapi unsur wisata dan hiburannya juga terasa.
Rombak Manajemen
Keberadaan PSK yang kian hari kian menarik dan menyedot pengunjung, membuat Pemdes untuk membenahi manajemen pasar. Hingga Juli 201 1 PSK, seperti pasar-pasar desa lainnya, dikelola secara konvensional yakni oleh salah seorang perangkat desa. Pengelolaan konvensional ini dirasa tidak efektif lagi untuk pengembangan PSK ke depan. Sehingga pada Juli 201 1 dibentuklah kepengurusan PSK dengan otonomi penuh.
Pengurus lalu mengundang investor untuk mengelola PSK dengan sistem lelang. Angka pertama yang ditawarkan 25 juta per tahun. Dan ternyata akhirnya ada yang berani 27,5 juta. Hasil lelang ini kemudian digunakan untuk membangun satu los bangunan lagi.
Sang investor berhak atas uang retribusi pedagang yang berjumlah sekitar 80 orang (Rp 1000 per pedagang) dan uang parkir yang bisa mencapa ilebih dari 200 ribu per hari. Sementara sumbangan dari sponsor masuk ke kas pengurus untuk pembiayaan listrik dll.***
Di Jepara, setidaknya kita telah punya contoh yang menarik untuk ditiru. Pasar Sore Karangrandu (PSK) kini telah menjadi pasar rakyat nan memikat. Trik-trik apa yang dipakai oleh para pengelola PSK sehingga dalam tempo yang relatif sangat singkat (tiga tahun, sejak 2009) mampu menjadikan PSK ramai pengunjung? Inilah yang perlu kita pelajari.
Mati enggan hidup tak mau
Sebagaimana pasar-pasar desa umumnya, PSK memiliki sejarah panjang. Puluhan tahun silam. PSK yang
dulunya bernama pasar Wiroto Pahing itu tentu tidak semeriah sekarang. Bisa dikatakan “mati enggan hidup tak mau” Dan sejak dulu aktifitasnya hanya di sore hari sekitar jam tiga sampai Maghrib.
Kondisi seperti itu berlangsung bertahun-tahun. Hingga 2009. “Sejak 2009 kami melakukan pembaruan konsep. Kami rubah namanya menjadi Pasar Sore Karangrandu (PSK), sebab nama yang dulu kami anggap kurang ‘menjual’,” papar Mukafi Petinggi Karangrandu.
“Nama PSK ini,” lanjut Mukafi, “awalnya juga kontrofersial. Tapi kami yang penting niatnya baik. Justru
keuntungannya mudah dikenang orang. Selain itu kami juga melekatkan unsur kuliner ke PSK.”
Lebih lanjut Petinggi yang mulai aktif menjabat sejak November 2007 itu memaparkan, bahwa dengan melekatkan unsur kuliner ke PSK harapannya bisa menarik lebih banyak pengunjung tidak hanya kaum ibu yang sekedar belanja kebutuhan sehari-hari.
Pada Sabtu 25 Februari lalu Sekar Kampung jalan-jalan ke PSK. Memang ada kesan luar biasa. Setidaknya jika dibanding pasar-pasar desa lainnya. Wisata pasar, ini poin plus PSK yang tidak terdapat di pasar lain di Jepara. Aktifitas "ecotainment" (ekonomi-hiburan) menyatu di sini.
Faktanya, yang berdatangan ke PSK tidak hanya warga yang ekonominya pas-pasan, tapi juga kalangan berduit. Saya sempat terheran melihat satu kedai kuliner yang dijejali pengunjung berjubel. Tua, muda, ibu-ibu, ramai sekali. “Niki termasuk biasa, mas. Rame malih nek dinten Jum’at kalih Minggu,” komentar seorang ibu pedagang es campur, goreng-gorengan, pecel, dan menu-menu kuliner lainnya.
Saya juga tak mengira lokasi parkir yang luas, yang awalnya ketika pertama saya masuk lokasi pasar sekitar
pukul 14.00 masih nampak sepi, ternyata semakin sore semakin penuh. Tidak hanya sepeda motor, tapi juga mobil-mobil berkelas. Ada juga sebuah grup pehobi sepeda tak canggung mampir ke PSK. Makin sore makin ramai. Sekitar jam 16.15, saya terkaget lagi ada satu kereta wisata yang penuh sesak dengan penumpang yang kebanyakan ibu-ibu, remaja putri, dan anak-anak, berbelok masuk ke halaman
PSK. Dan agaknya mereka semua memang sengaja menuju ke PSK, entah untuk jalan-jalan, belanja, atau menikmati santapan kuliner.
Strategi dan trik
Sejak 2009 pelan-pelan PSK menjadi pasar rakyat yang meriah, ramai pengunjung. “Untuk mengawali konsep PSK dengan penekanan unsur kuliner , kami mengadakan Pameran Kuliner Jepara, yang pada akhirnya ini menjadi kami tetapkan sebagai even tahunan,” kisah Mukafi.
Untuk meramaikan PSK, berbagai acara yang berpotensi menarik massa digelar: mengundang para
sponsor untuk mengadakan pameran produk, festifal musik dan festifal-festifal lainnya, membagi voucher makan gratis dengan sopir-sopir kereta yang bisa mengajak penumpangnya ke PSK, dll. Dengan demikian PSK tidak hanya sebagai tujuan belanja saja, tapi unsur wisata dan hiburannya juga terasa.
Rombak Manajemen
Keberadaan PSK yang kian hari kian menarik dan menyedot pengunjung, membuat Pemdes untuk membenahi manajemen pasar. Hingga Juli 201 1 PSK, seperti pasar-pasar desa lainnya, dikelola secara konvensional yakni oleh salah seorang perangkat desa. Pengelolaan konvensional ini dirasa tidak efektif lagi untuk pengembangan PSK ke depan. Sehingga pada Juli 201 1 dibentuklah kepengurusan PSK dengan otonomi penuh.
Pengurus lalu mengundang investor untuk mengelola PSK dengan sistem lelang. Angka pertama yang ditawarkan 25 juta per tahun. Dan ternyata akhirnya ada yang berani 27,5 juta. Hasil lelang ini kemudian digunakan untuk membangun satu los bangunan lagi.
Sang investor berhak atas uang retribusi pedagang yang berjumlah sekitar 80 orang (Rp 1000 per pedagang) dan uang parkir yang bisa mencapa ilebih dari 200 ribu per hari. Sementara sumbangan dari sponsor masuk ke kas pengurus untuk pembiayaan listrik dll.***
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !